PENYAKIT DIKARENAKAN DIRI SENDIRI

Menilik perjalanan penyakit yang saya pernah derita di masa lalu, saya mengambil beberapa penyakit yang kronis dan menjadi penyakit bawaan yang mesti dijaga sampai saat ini.

Dimulai sejak TK, saya mengalami sakit maag akut sampai rawat inap di Rumah Sakit Anak di Solo. Bukan hanya disebabkan asam lambung yang diproduksi secara berlebih, tetapi hal ini sudah sampai melukai dinding lambung. Akibatnya saya harus menjaga kondisi lambung saya agar tetap bekerja maksimal, walaupun sulit untuk mengkonsumsi obat kimia yang memiliki kandungan yang cukup tinggi dosis, kerja lambung saya tidaklah berfungsi dengan baik.

Ceritanya bermula saya sering berebut makanan dengan kakak saya. Seringkali saya tidak kebagian dan itu membuat saya kesal. Pada suatu hari, saya pulang sekolah lebih awal, sedangkan kakak belum pulang. Di lemari es ada jatah tape singkong untuk kami sekeluarga. Akhirnya saya memakannya hingga kenyang, tanpa makan siang terlebih dahulu, walaupun sudah diingatkan mbak ART untuk makan siang. Saya tidak mengiyakan, di dalam pikiran saya hanya memakan tape itu supaya dapat bagian dan menikmatinya. Oke, nikmat sesaat (hahahaha), tetapi malam harinya terjadilah “gunung merapi meletus” atau “muntah tiada henti” saat tertidur. Saya ingat sekali jam 2 pagi saya dilarikan ke Rumah Sakit dan dirawat inap di sana, karena muntahnya tidak dapat berhenti. Selama sekitar satu minggu saya harus menjalani pengobatan kemudian pemulihan dengan mengatur makan yang benar.

Ternyata luka dinding lambung ini tidaklah pulih total. Saat saya di bangku SMA, saya mengidap penyakit Chikungunya sepulang saya mendaki Gunung Lawu. Saat itu memang kondisi saya “nge-drop” kecapean. Chikungunya adalah infeksi virus yang ditandai dengan serangan demam dan nyeri sendi secara mendadak. Virus ini menyerang dan menulari manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegyptiatau Aedes albopictus, dua jenis nyamuk yang juga dikenal sebagai penyebab demam berdarah.

Gejala yang saya alami, seperti:

  • Demam hingga 39 derajat Celsius
  • Nyeri pada otot dan sendi
  • Sendi bengkak
  • Nyeri pada tulang
  • Sakit kepala
  • Muncul ruam di tubuh
  • Lemas
  • Mual dan muntah

Gejala chikungunya yang saya alami muncul di 7 hari pertama, kemudian mulai keluar bintik2 merah, akhirnya saya dibawa ke Rumah Sakit Bethesda di Jogja. Saya mengalami kelumpuhan sementara sehingga menggunakan kursi roda dan dirawat di ruang isolasi saat itu selama 7 hari berikutnya. Ketika saya terus mengalami muntah, saya sempat mengeluarkan muntah getah bening dari lambung. Dokter sangat khawatir kondisi ini, jadi setiap obat yang diberi untuk Chikungunya harus diberi obat maag terlebih dahulu. Kemudian 7 hari berikutnya saya sudah bisa rawat jalan, pemulihan di rumah, menjaga imun tubuh.

MASA KULIAH, MELUPAKAN MERAWAT TUBUH DAN JIWA DI DALAM

Memasuki tahun dimana saya duduk di bangku kuliah tahun 2003, saya mulai merantau ke Jogja dan mulai disibukkan dengan kegiatan dan tugas kuliah yang padat. Saya melupakan yang namanya kesehatan saya sendiri. Tidak pernah melakukan olahraga, sehingga di awal kuliah saya mengalami batuk berkepanjangan selama 1 bulan, setelah dirongent paru-paru hanya ada flek sedikit, tapi tidak berbahaya. Diagnosisnya adalah “alergi suhu dingin”, saya gak tahan ruang ber-AC yang terlalu dingin, begitupun di pegunungan yang saat itu suhunya sedang dingin sekali, walaupun dulu saya hiking/ trekking di pegunungan, tapi ini akibat karena saya tidak melakukan gerak olahraga selama saya kuliah.

Saat di bangku kuliah saya memang mengidap banyak penyakit yang membahayakan diri saya sendiri. Berlanjut di tahun-tahun berikutnya saya harus dirawat inap, karena “pembengkakan ginjal(hidronefrosis), hal ini diakibatkan oleh kurangnya minum air. Saya banyak duduk di depan komputer tanpa mempedulikan konsumsi kebutuhan air dalam tubuh, saat air di meja habis, saya malas untuk mengambil ke dapur, tetap sibuk di depan komputer. Akibatnya ya seperti ini, sakit yang membahayakan.

Gejala awalnya dimulai dari kondisi tubuh yang pucat tapi tidak disadari, teman-teman saat itu hanya berkomentar, “Kok pucat yu? Sakit?”. Saya tidak merasakan sakit. Di minggu berikutnya saya mulai pusing, mual dan muntah, serta meriang tidak sampai demam. Akhirnya memutuskan periksa ke RS Bethesda Jogja lagi, saat itu diagnosa awal ada pembengkakan lambung, dikira sakit lambungku biasanya, karena memang perut mengeras dan mengembung bengkak terasa sakit ketika ditekan.

Hari pertama rawat inap saya masih mengalami muntah2 tidak berhenti. Hari kedua akhirnya diperiksa urin dan USG, di situlah ketahuan bahwa “pembengkakan ginjal kanan dan kiri”. Kemudian saya diberi obat untuk ginjal yang dosisnya tinggi, tetapi saya muntah2 lagi tidak berhenti. Di hari ketiga, dokter mengecek files riwayat sakit saya, di situlah saya harus konsumsi obat maag dulu baru obat ginjal sehingga pengobatan berhasil. Hal ini lagi-lagi disebabkan dinding lambung yang luka memang sudah tidak dapat mengkonsumsi obat kimia yang keras.

Seminggu saya harus rawat inap, dokter menasehati untuk minum air putih minimal sehari 2-3 liter, tidak boleh berpergian jauh dengan motor dahulu (saya dulu sering PP Solo-Jogja dengan motor saat weekend jika kehabisan tiket kereta), membawa bekal minum kemana saja (bawa tumbler sudah dimulai sejak tahun 2005).

Tahun berikutnya saya mulai mengalami sakit kepala serius, awalnya saya pikir hanya pusing dan migran karena tugas kuliah yang se-abreg. Saya diminta mama untuk memeriksakan ke dokter, tapi karena penyakit2 saya derita sebelum2nya membuat saya ogah2an ke dokter, takut kalau diagnosanya menyeramkan (hahahahaha).

Akhirnya saya memberanikan diri memeriksakan ke klinik dokter Iridiologi (mendeteksi penyakit melalui iris mata) di Jogja, beliau biasanya praktek di RS Panti Rapih. Saya diminta untuk memeriksakan darah ke lab, hasilnya saya terkena virus CMV. Cytomegalovirus (CMV) merupakan virus yang dapat bertahan dalam tubuh manusia untuk waktu yang lama, dalam keadaan tidak aktif, dan tidak menimbulkan gejala apa-apa. Namun, virus sewaktu-waktu dapat aktif kembali, biasanya ketika sistem kekebalan tubuh sedang melemah.

Saat itu dokter mengatakan disebabkan dari makanan yang tidak bersih yang saya konsumsi juga pola hidup saya yang sibuk, misal dari lalapan yang tidak dicuci bersih (karena jajan penyetan pinggir jalan) dan juga tidak mengganti celana dalam ketika tidak mandi di sore/malam hari, karena lelah ingin cepat tidur. Setelah rawat jalan seminggu, hasil tes lab berikutnya CMV tertulis 0 (nol), artinya bersih tidak ada CMV lagi, dokter bilang “Luar biasa keajaiban, biasanya manusia memiliki 2-3 CMV di tubuh, tinggal aktif tidaknya virus itu berkembang. Ini sampai sudah bersih menjadi nol.”

Tahun 2008, saya pernah mengalami pendarahan di telinga. Saat itu saya sedang naik motor dan ketika membuka helm, saya dipanggil oleh kawan saya, tapi saya tiba2 suaranya sayup2 terdengar dan telinga saya seperti “bindeng”, sampai saat meeting pun saya tidak mendengar jelas dan membuat kepala saya pusing.

Saya berlanjut ke perjalanan berikutnya ke Telkom, ketika di ruang tunggu, banyak orang mengantri dan bisingnya suara antrian, ketika itu saya mendengar sangat kencang riuh berisik di telinga saya bercampur aduk suaranya dan membuat makin kepala saya pusing tidak karuan. Akhirnya saya memutuskan ke RS Bethesda yang paling dekat, saat berjalan mengambil motor sudah terhuyung2 dan mendengar derap langkah saya yang cukup menghentak telinga.

Saya harus bertahan sampai ke RS, dan harus menaiki tangga, menuju poli THT. Saat itu poli sudah tidak terima pasien, karena jam praktek dokter sudah selesai tepat saya datang, tapi saya tetap meminta diperiksa sudah tidak tahan, sambil berbicara teriak karena saya sendiri tidak bisa mendengar jelas apa yang saya bicarakan.

Akhirnya dokter mau menerima saya, dan diperiksa telinga saya pendarahan. Penyebabnya bisa karena pengeras suara yang keras karena saya melakukan training beberapa minggu sebelumnya dan bisa karena pengaruh CMV terdahulu ataupun cedera bengkak otak yang pernah saya derita waktu SMA karena kecelakaan maut (saya ditabrak mobil dan tubuh saya berada di bawah mobil ~ mati suri/ Near Death Experience). Tidak diketahui pasti, tapi dokter berkata ada hubungan erat dengan otak. Saya melakukan rawat jalan, pendengaran kembali pulih.

Tahun 2016 lalu, saya melakukan operasi pengangkatan tumor jinak, untungnya masuk kategori “jinak” dan ukurannya hanya sebesar bola bekel. Benjolan pertama muncul saat saya masih kuliah (sekitar tahun 2005), tanpa disadari, benjolan ini saya diamkan dari yang ukurannya hanya sebesar kutil di dekat selangkangan. Tahun berganti tahun, benjolannya makin membesar, pola hidup anak rantau saat itu yang masih belum maksimal diubah, belum lagi saya mereview banyak tempat kuliner dari yang sehat hingga tidak sehat (tetapi yang enak) untuk konten blog saya waktu itu.

Faktor dari pola makan saya yg asal2an saat kuliah, serba instant dan lebih banyak jajan di luar yang tidak memperhatikan kebersihan dan kesehatan dari makanan itu. Tidak pula memikirkan detoks setelah makan tidak sehat maupun tidak menyeimbangkan kebutuhan tubuh. Ditambah dengan segi mental yang lebih banyak memendam emosi ataupun meluapkannya secara berlebihan akibat dari toxic relationship yang berkepanjangan.

Dari tahun ke tahun saya berusaha mengubah gaya hidup dengan konsumsi bahan alam seperti jamu & makan sehat yang berkesadaran, akhirnya menemukan jalan walau pelan namun pasti untuk lebih mencintai tubuh dan mengelola pikiran, jiwa dan spirit lebih baik lagi. Riwayat penyakit yang saya jabarkan di atas adalah kesalahan yang saya ciptakan karena diri saya sendiri.

Kesadaran diri lah yang dibutuhkan untuk mengubah gaya hidup dari pola pikir, pola makan, pola tidur dan olah tubuh ke arah lebih baik.

Apakah masih muncul kembali benjolannya ?

Selama pola hidup kita ubah menjadi lebih baik, ia tidak akan timbul penyakit. Ketika saya “cheating” makan tidak mendetoksnya atau tidak menyeimbangkannya kembali elemen dasar di dalam semesta kecil ditambah dengan kondisi stressful karena pekerjaan ataupun hubungan relasi, ditandai dengan melalaikan kesadaran pola makan, pola pikir, pola tidur juga terganggu, akhirnya timbul gatal2 pada area bekas operasi dan raum2 merah di sekitarnya. Ketika kita sudah mengenali tubuh seperti ini, pikiran kita harus dikendalikan untuk mengubah kembali polanya dan tidak mengulanginya.

Menyadari dan memahami ketidakseimbangan elemen tubuh. Dalam pengobatan Ayurveda, elemen itu disebut Tri Dhosa (vata/ angin, pitta/ api, kapha/ air) berada dalam semesta kecil.

Kita boleh jajan di luar, tapi ingat untuk mendetoksnya, jaga keseimbangan elemen tubuh. Namun sebaiknya makanlah yang sehat. Makan sehat yang berkesadaran dan bijaksana itu dengan menghindari makanan dan minuman yang mengandung 4P (Pengawet, Pemanis, Pewarna, Perasa buatan), pilih makanan dan minuman yang dari bahan alami. Hidup harus tetap balance, semesta Agung juga memiliki proses pemurnian (detoksifikasi) elemen Jagat Raya, semesta kecil kita juga bekerja dengan cara yang sama untuk menyeimbangkan semua elemen di dalam. Anyway, lain waktu kita bahas tentang Ayurveda dengan Tri Dhosa nya.

KASUS KANKER DARAH PADA ANAK

Saat saya masih menjadi konselor di klinik dokter di Jogja waktu itu, saya mendapat pasien anak usia 3 tahun, yang masih belum diketahui penyakitnya, masih dalam penanganan dokter. Ia telah dibawa ke berbagai dokter dan rumah sakit, sampai sudah diperiksa sumsum tulang belakang tahun sebelumnya dan hasilnya nihil. Saat itu saya hanya bertugas untuk menggali dari segi psikologisnya. Saat itu ibu dan neneknya bersamanya di klinik. Saat konseling berlangsung, si anak menjadi tantrum karena ingin perhatian si Ibu. Namun Ibu dan Nenek sedang berdebat karena soal pola asuh. Ibu yang bekerja sebagai pramugari jarang di rumah dan Bapak bekerja di Surabaya (seminggu sekali pulang Jakarta), sedangkan anak-anak mereka usia 7 dan 3 tahun berada di Jakarta tinggal bersama ART dan baby sister. Nenek tinggal di Lampung yang sesekali menengok cucu di Jakarta.

Kesibukan orang tua mengorbankan kasih sayang terhadap anak. Anak yang menderita secara mental, kesepian dan merindu. Timbul emosi sedih, marah, kecewa yang terus menerus ditumpuk dalam benak batinnya.

Hari berikutnya orang tua nya hadir di Jogja, tapi mereka tidak memahami peran sebagai orang tua terhadap reaksi anak yang makin tantrum ketika keinginannya sudah dituruti namun meminta hal baru lagi. Mereka tidak sadar, tidak peka dengan sikap dan emosi anak.

Ketika family therapy berjalan dan saya tinggalkan sejenak untuk mereka berdua berdiskusi tentang keputusan merawat anak. Saya sembari berada di luar ruang bersama anak dan nenek. Anak ini terdiam, merenung, dengan raut muka yang sedih. Saya belikan beberapa buku cerita untuknya, ia hanya memegang dan pikirannya kosong. Saya meraba tangan, punggung, kakinya yang kulitnya terasa kasar bersisik, saat itu saya sudah tahu dia sudah ada sakit fisik dengan tanda tubuh yang tidak sehat. Kami semua masih menunggu hasil diagnosa dokter dan orang tuanya telah memutuskan sesuatu untuk mengorbankan pekerjaan demi merawat anak.

Namun selang satu minggu kemudian setelah kembalinya mereka ke Jakarta, kabar mengagetkan si Anak meninggal dunia. Sekitar 2 hari sebelumnya, dikabarkan hasil diagnosa dokter, anak ini menderita leukimia stadium 4 dan hanya menunggu waktu tiba.

Dari kasus ini, pikiran adalah pemicu dari timbulnya penyakit si anak. Kekuatan pikiran menguasai dari jawaban tubuh.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *